HANYUT
Angin
terus menerpa pepohonan. Cahaya sang surya menerobos di rimbunnya
dedaunan, namun itu belum cukup untuk memberi penerangan di tempat
ini, sungai Kontheng. Airnya sedikit keruh dan disini sepi sesungai.
Walau tampak seram, Aku dan teman-temanku memberanikan diri untuk
memancing disini, katanya ada banyak ikannya. Ferdi, anak yang paling
jangkung diantara kami begitu bersemangat untuk memancing. Namun lain
bagiku dan Fauzan, merinding dicampur takut terlihat di wajah kami.
Sementara itu, Krisna, anak yang paling besar badannya terlihat
begitu tenang. Lama sesungai umpan kami tak kunjung juga disambar
ikan. Mungkin disini tak ada ikan karena ketakutan, pikirku. Ferdi
yang awalnya bersemangat tampak putus asa. Kamipun memutuskan untuk
berpindah tempat.
Akhirnya
kami sampai ditempat yang diinginkan. Airnya jernih bak kolam renang,
hanya bedanya ada arusnya. Namun sayang, keindahan panorama di air
tak sebanding dengan yang di lereng. Lerengnya begitu curam, gelap,
dan licin. Aku sangat berhati-hati dalam mencari tempat yang pas,
jika terpeleset maka apalah yang terjadi aku tak bisa
membayangkannya. Aku menemukan tempat yang sedikit aman, tanahnya
tidak licin dan agak datar. Teman-temanku juga sudah memilih tempat
yang dirasa cocok. Baru saja aku menjatuhkan umpanku, ada ikan
menyambarnya. Akupun bahagia karena aku bisa menjadi yang pertama
mendapatkan ikan.
“Gimana
bro. aku duluan to
yang dapat ikannya. Hahaha.”,celotehku.
“Jangan senang
dulu, nanti juga putus tali pancingnya.”, Ferdi menyahut.
“Eh.
Yo
jangan bilang gitu to.”
Jawabku
“Iya..iya.
Bercanda doang.”
Namun
benar saja, tali pancingku putus, akupun ditertawakan oleh
sohib-sohibku. Aku merasa sedikit putus asa dan hanya melihat
mereka asyik memancing dari atas. Teman-temanku-pun terlihat asyik
memancing. Tak berselang lama mereka sudah mendapatkan banyak ikan.
Walau aku hanya melihat, aku tetap merasa senang karena mendapat
banyak ikan hasil pancingan. Kami memutuskan untuk beristirahat
sejenak di sebuah bendungan. Selama 30 menit kami hanya duduk-duduk
sambil bergurau.
“Bagaimana
kalau sekarang kita maling tebu dan jagung, perutku sudah keroncongan
nih.”,
cetus Krisna.
“Ayo,
Gimana Syid, Di, Mau
ndak?”
Fauzan meyakinkan.
“Yo’i.”,
jawabku dan Ferdi hampir bersamaan.
Kamipun
memulai ekspedisi mencari jagung dan tebu disawah orang alias maling.
Tak apalah sesungai-sungai maling, toh
hanya sedikit, pikirku. Kulihat persawahan yang penuh akan jagung di
sebelah utara sedangkan tebu berada di sebelah selatannya. Kami
dengan cekatan langsung mencari jagung dan tebu. Saat asyiknya
memilah-milah tebu, tiba-tiba ada orang bercaping dan mulutnya
ditutupi kain berjalan mendekati kami. Kami semua berpikir bahwa itu
adalah pemilik sawah. Dengan cekatan aku dan teman-temanku langsung
ambil langkah seribu cari tempat persembunyian. Ternyata siapa dia?
Ia juga memetik tebu dan langsung memakannya. Parah banget orang itu,
sudah tua masih saja maling, ejekku dalam hati. Setelah kami
mengetahui bahwa itu bukan pemilik sawah kamipun melanjutkan aksi.
Setelah mendapatkan tebu dan jagung yang diinginkan, kami kembali ke
bendungan tadi. Beruntungnya, Fauzan membawa korek api, dan langsung
membakar jagung ditempat sambil makan tebu yang manis.
***
Matahari
semakin ke barat, kami memutuskan untuk pulang. Perasaan merindingku
muncul lagi, aku harus menyeberang sungai Kontheng yang seram itu.
Setelah sampai di sungai Kontheng, hanya terdengar suara arus air
yang cukup deras dan burung berkicauan. Aku sangat berhati-hati
menuruni lereng dan menyeberang ke sungai. Akhirnya aku, Ferdi,
Fauzan bisa menyeberang walaupun aku tadi hampir saja terpeleset.
Namun, Krisna lama sesungai. Ia masih asyik dengan jagung bakar yang
ada digenggamannya. Tiba-tiba, Byyuuurrr. Sontak Aku, Fauzan, dan
Ferdi kaget dan menoleh kebelakang, ternyata Krisna terpeleset jatuh
ke air. Aku, Fauzan, dan Ferdi sangat cemas dan langsung mencoba
menolongnya. Namun alam tak memihak aku dan teman-temanku. Medan yang
licin dan berbatu memperlambat laju kami untuk menolong Krisna. Ia
hanyut dibawa arus yang deras.
“oke.
Sabar. Banyak batu nih.
Sulit”,
Jawab Ferdi sambil berteriak dan mencoba melompati bebatuan. Namun
sayang, Krisna terburu hanyut dan badannya terbentur bebatuan. Ia
terlihat tak sadarkan diri. Beruntungnya Krisna terdampar di sebuah
batu yang cukup besar. Aku, Ferdi, dan Fauzan segera menolongnya.
Kami bertiga berusaha memapahnya walaupun tubuhnya amat berat.
Akhirnya Krisna dapat ditolong dan dibawa ke tepi sungai. Ferdi
mecoba membangunkannya dengan menggerak-gerakan tubuhnya Krisna.
Alhasil, Krisna akhirnya terbangun.
“Aduh.
Kok sakit banget. Aku dimana ini?” Krisna seperti orang bingung.
“Kamu
hanyut tadi. Untungnya kamu nyangkut dan aku, Fauzan, Ferdi segera
mengangkatmu kesini.” Tuturku.
“Makanya
kalau mau nyebrang sungai itu gak sambil makan, kalau
bigini kan ngrepotin temenmu dan kamu sendiri to?.” Tutur Ferdi
sok bijaksana.
“Iya..iya.
Ndak tak ulangi lagi.”
“Sudah..sudah.
Sekarang lebih baik kita pulang. Kris? Kamu bisa jalan sendiri kan??”
Fauzan menambahkan.
“Oke.”
Jawab Krisna. Kami berempat pulang dengan perasaan senang dicampur
deg-degan.
Krisna berjalan dengan pincang karena kakinya terkilir. Sampai di
desa, kami ditanya oleh pak RT.
“Kenapa
Kris, kok jalannya geal-geol gitu?”
“Ini
pincang Pak RT, kok geal-geol”
“Lho
kakimu sakit? Habis jatuh?”
“Ini Pak RT, tadi
kan kami mancing di sungai Kontheng. Pas mau nyebrang Krisna
terpeleset dan jatuh.” Ceritaku pada Pak RT
“Ooo.
Tapi gak parah to?”
“Nggak
kok Pak, hanya kesleo.”Krisna menjelaskan.
“Yasudah
hati-hati jalannya, Bapak mau ke rumah Pak RW dulu.”
“Siap
Pak RT, mangga.”
ucap kami hampir serentak.
“Mangga.”
Kami
melanjutkan perjalanan menuju kerumah Krisna. Sesampainya di rumah
Krisna, kami ditanya oleh ibunya kenapa kok sampai seperti itu
kejadiannya. Kamipun tak bisa lari dari kemarahan ibunya Krisna.
Akhirnya kami dilarang mancing di sungai Kontheng lagi. Dua hari
setelah kejadian, Krisna sudah sembuh, kami berempat bermain bersama
lagi. Sampai akhirnya terlintas pikiran akan mancing lagi disana, aku
sempat menolak. Namun, akhirnya kami pergi lagi kesana tanpa ada
perasaan khawatir terjadi peristiwa yang sama pada 2 hari sebelumnya.